SAYA bukan ahli hukum. Tapi perasaan saya mengatakan bahwa penegakan hukum di negeri kita ini tidak adil. Mungkin karena masih pakai kitab hukum warisan penjajah sehingga bau kolonial dan diskriminasinya sangat kental dan terasa.
Operasi tangkap tangan (OTT) yang jadi pola dan kebanggaan KPK dalam satu sisi kita setuju setuju saja, tapi apakah adil dalam konteks penegakan hukum di negeri ini? Ini persoalan yang mengganggu pikiran dan perasaan saya selama ini terhadap KPK.
Sewaktu kami bersama pak Fahmi Idris dan kawan-kawan bertemu KPK beberapa waktu yang lalu, Ketua KPK menyatakan di hadapan kami bahwa KPK di eranya tidak akan mengurus korupsi ecek-ecek lagi. KPK akan konsentrasi pada korupsi besar. Sehingga kami berkesimpulan bahwa KPK akan menuntaskan korupsi: BLBI, Century, Mafia Minyak, Mafia Pajak dan juga akan fokus pada Mafia Tanah, Mafia Tambang, Mafia Utang Negara, Mafia Listrik, Mafia Telekom, Mafia Pangan, Mafia Expor dan lain-lain.
Dengan kasus OTT terhadap Anggota DPRD DKI, Muhammad Sanusi, ternyata KPK masih yang dulu juga. KPK yang senang dengan berita entertainment korupsi dan karena rakyat Jakarta sedang fokus menyerang korupsi Ahok di RS Sumber Waras, maka mau tidak mau ada yang curiga bahwa OTT terhadap Sanusi terindikasi berbau politis. Satu persatu anak muda potensial calon pemimpin jadi korban jaringan batman KPK.
Banyak kawan kawan merasa kesal, kecewa, frustrasi atas penegakan hukum di negeri ini misalnya menyangkut:
1. Eddi Tansil alias Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Awal 1990an membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp 1,5 trilyun ketika nilai tukar rupiah thd dolar Amerika sekitar Rp 1.500,- per dollar. Kini, ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 700 persen, berarti duit yang digondol Eddi Tanzil setara dengan Rp 9 triliun, lebih besar dari nilai skandal Bank Century yang Rp 6,7 triliun. Penegak hukum kita sudah lupa mungkin.
2. Di penghujung tumbangnya orde baru, sejumlah pengusaha dan bankir Cina panen BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Banyak diantara mereka yang kemudian melarikan diri ke luar negeri dengan meninggalkan aset rongsokan sebagai jaminan dana talangan. Menurut catatan Kompas 2 Januari 2003, jumlah utang dan dana BLBI yang diterima Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sekitar Rp 79 triliun, Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp 65,4 triliun, Bob Hasan alias The Kian Seng Rp 17,5 triliun, Usman Admadjaja Rp 35,6 triliun, Modern Group Rp 4,8 triliun dan Ongko Rp 20,2 triliun. Dan masih banyak lagi.
3. Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
4. Eko Adi Putranto, anak Hendra Rahardja ini terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
5. Sherny Konjongiang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia.
6. David Nusa Wijaya, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
7. Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.
Total general duit rakyat yang dikemplang tujuh konglomerat hitam Aseng (meminjam istilah Kwik Kian Gie) dalam kasus ini
sekitar Rp 225 trilyun.
8. Pasca Orde Baru, muncul lagi pengusaha Cina yang membawa kabur uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya. Misalnya Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing, bekas pemilik Bank Harapan Santosa, yang kabur ke Australia setelah menggondol duit dari Bank Indonesia lebih dari Rp 1 triliun. Hendra Rahardja tepatnya merugikan negara sebesar Rp 2, 659 triliun. Ia divonis in absentia seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hendra meninggal di Australia pada 2003, dengan demikian kasus pidananya gugur.
9. Kemudian ada Sanyoto Tanuwidjaja pemilik PT Great River, produsen bermerek papan atas. Sanyoto meninggalkan Indonesia setelah menerima penambahan kredit dari bank pemerintah.
10. Lalu Djoko Chandra alias Tjan Kok Hui, yg terlibat dlm skandal cessie Bank Bali, meraup tidak kurang dari Rp 450 miliar. Ketika hendak ditahan Djoko kabur keluar negeri dan kini dikabarkanmenjadi warga negara Papua Nugini.
11. Maria Pauline, kasus pembobolan BNI. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun. Proses hukumnya masih dalam penyidikan dan ditangani Mabes Polri. Maria kabur ke Singapura dan Belanda.
12. Anggoro Widjojo, kasus SKRT Dephut. Merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Dalam proses penyidikan ke KPK. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO.
13. Lesmana Basuki, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Lesmana divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO.
14. Tony Suherman, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta dollar Amerika. Tony divonis 2 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO.
15. Dewi Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
16. Anton Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
17. Sukanto Tanoto, terlibat dalam dugaan korupsi wesel ekspor Unibank. Ia diduga merugikan negara sebesar 230 juta dollar Amerika. Ia lari ke Singapura. Menurut ICW, Sukanto masih terduga namun diberitakan menjadi tersangka. Proses hukum tidak jelas. Nama Sukanto Tanoto dicabut dalam daftar ini.
18. Pada 2010, mantan kepala ekonom konsultan McKinsey, James Henry, menerbitkan hasil studinya soal penyelewengan pajak di luar negeri (tax havens). Menurut laporan tersebut, terdapat USD 21 triliun (Rp 198.113 triliun) pajak pengusaha di seluruh dunia yang seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan.
Sembilan diantara para pengusaha pengemplang pajak itu berasal dari Indonesia, seperti James Riady, Eka Tjipta Widjaja, Keluarga Salim, Sukanto Tanoto, dan Prajogo Pangestu.
Dari belasan skandal diatas yang melibatkan puluhan Aseng dan menggerogoti kekayaan negara penegak hukum khususnya KPK tutup mata untuk menyelesaikan dengan tuntas. Maka tak heran muncul prasangka negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia sangat tidak adil dan diskriminatif.
Terhadap kaum pribumi yg maling ayam, curi sandal jepit atau birokrat atau politisi yg mencuri recehan dipermalukan dg melampaui batas hingga dihukum belasan tahun. Hakim gila yang menghukum dengan bangga menepuk dadanya telah menghukum warga pribumi dengan sadis. Namun mereka tutup mata atau menghukum ringan maling0maling raksasa warga keturunan Aseng bahkan membiarkan mereka hidup mewah di luar negeri. Tukang bakar hutan atau penyuap penyuap yang merusak mental pejabat bebas berkeliaran.
Keadilan macam apa yang kamu mau tegakkan wahai KPK? Keadilan ala penjajah?
Penulis adalah Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), M. Hatta Taliwang